November 28, 2014

Waiting for Godot

Bagaikan Drama Waiting for Godot


Foster Drama Waiting for Godot
Hari ini aku lelah sekali karena aku sedang menunggu sesuatu yang belum datang jua. Bagaikan drama Waiting for Godot dari Samuel Beckett, menunggu sesuatu yang tidak pasti. Tapi aku tetap optimis. Dimana letak titik yang putus ini (missing link) ini. Konon disini penuh dengan intrik-intrik dan saling-sikut....ah...kenapa aku yang kena getahnya? maklum aku orang baru, aku tak tahu? ex absentia, keberadaan dari ketiadaan, sebuah absurditas yang memuakkan.

Waiting for Godot merupakan sebuah naskah drama Samuel Beckett yang sudah
Samuel Beckett
beberapa kali dipentaskan. Naskah ini pertama kali dipentaskan di Paris pada tanggal 5 januari 1953[1]. Naskah aslinya berbahasa Prancis yang kemudian diterjemahkan ke dalam banyak bahasa termasuk bahasa Indonesia. Waiting for Godot mulai ditulis pada tanggal 9 Oktober 1948 dan selesai pada tanggal 29 Januari 1949.[2] Naskah drama ini terdiri dari dua babak. Babak I dan babak II menunjukkan setting tempat dan waktu yang sama, yaitu di suatu jalan di desa pada suatu senja. Pada jalan itu terdapat sebuah pohon. Pada babak I, pohon itu tanpa daun, dan pada babak II sudah muncul beberapa helai daun. Tokoh yang terdapat dalam naskah ini hanya lima orang, yakni Vladimir, Estragon, Pozzo, Lucky, serta Boy. Namun dalam dialog yang diucapkan oleh para tokoh tersebut muncul nama Godot, ialah tokoh yang mereka nantikan. Godot tidak muncul dalam teks drama secara konvensional dalam artian hanya ada nama tokoh dan dialog tetapi hanya dalam ucapan tokoh tokoh yang membicarakannya. Dengan kata lain, kehadiran Godot adalah “ex absentia”, yakni keberadaan dari ketiadaan. Ia dibicarakan terus menerus namun ia tidak muncul. Ketiadaan dirinya telah menjadikannya sebagai pusat perhatian dan dengan cara yang demikian itulah ia menunjukkan kekuasaannya dalam hal daya paksanya terhadap Vladimir dan Estragon untuk tetap menunggunya datang.

Pada judul buku naskah drama ini tertulis: Waiting for Godot, tragicomedy in two acts, by Samuel beckett, grove press, inc. new York. 1954. Kata tragicomedy dalam judul tersebut dapat kita pahami sebagai istilah yang digunakan oleh Beckett untuk mengisyaratkan bahwa dalam drama tersebut ada dua unsur yang saling bertalian satu sama lain yakni, tragedi dan komedi. Namun pengertian komedi dalam naskah ini tidak dapat dipahami dalam artian yang umum, tetapi mengacu pada pengertian yang oleh Ionesco disebut “the intuition of the absurd”. Absurditas itu bersumber pada “sense of incongruity”, tatkala manusia merenungkan keberadaannya di tengah alam semesta.[3]Absurd yang dimaksud disini adalah situasi dimana manusia tidak menemukan kepastian dalam hidupnya sehingga ia menjadi aneh, tak jelas, dan serba bingung (confuseness). Dalam drama ini, para tokoh dihadapkan dengan persoalan menunggu kedatangan Godot. Mereka berharap Godot segera datang, namun penantian mereka sia-sia karena hingga akhir dramapun dikisahkan bahwa godot tak pernah munculBaca postingan sebelumnya vivere pericoloso.

August 07, 2013

Selamat Hari Raya Iedul Fitri

Amka Gabriel (Aming Kamil Rosyad) & Family Mengucapkan Selamat Hari Raya Iedul Fitri 1 Syawal 1434 H

Ramadhan yang senantiasa kami rindukan

Kini pergi untuk kembali di setiap tahun

Seandainya tiap bulan esensinya seperti Ramadhan

Niscaya hidup ini penuh kedamaian dan cinta kasih



PhotobucketPhotobucket
  A.Kamil Rosyad  I. Ernalia Wigena

Photobucket Photobucket Photobucket
   Fahra Pertiwi Halida Firzany Kamellia     Lukito Kamil

Kepada segenap keluarga, sahabat, handai taulan, guru-guru, Keluarga Besar Bani Ahmad Tasikmalaya, Ikatan Alumni Smanda 1986 Tasikmalaya, Ikatan Alumni Filsafat Universitas Gadjah Mada, Kagama, Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Blogger Indonesia & Dunia, HSP Group, kami ucapkan Selamat Hari Raya Iedul Fitri 1 Syawal 1434 H-Minal Aidin Wal Faizin-Mohon Maaf Lahir dan Batin. 

  Amka Gabriel (A. Kamil Rosyad) & Family

February 01, 2013

Vivere Pericoloso

Vivere Pericoloso dan Rutinitas


Istilah Vivere Pericoloso dipopulerkan oleh Bung Karno melalui sebuah pidatonya yang berjudul "Tahun Vivere Pericoloso" atau TAVIP pada tahun 1964. Kemudian surat kabar "Sinar Harapan" menamakan berita pojoknya dengan nama itu, "Vivere pericoloso". Vivere Pericoloso berasal dari bahasa Itali yang bermakna "Hidup penuh bahaya". Bung Karno yang memiliki kelebihan atau "weruh saduruning winarah" memprediksi bakal terjadinya gonjang-ganjing di bumi pertiwi tercinta kita ini. Konsep "Nasakom" (Nasional-Agama dan Komunis) yang menjadi obsesinya sejak tahun 1927, ternyata tak seideal seperti yang diharapkannya. 3 kelompok elit bangsa ini tidak bisa menyatu bagai minyak dengan air. Bahkan saling kasak-kusuk, yang satu ingin menjatuhkan yang lainnya. Dimulai dengan isu "Dewan Jenderal" dan "Dewan Revolusi" dan Puncaknya adalah terjadinya peristiwa G-30-S/PKI Gestapu: (Gerakan September Tiga Puluh) versi ABRI dan Gestok (Gerakan Satu Oktober) versi PKI.

January 06, 2013

Kontemplasi Sejenak

Kontemplasi Sejenak di Awal Tahun 2013

Pada hakikatnya, setiap pergantian tahun umur kita bukannya semakin bertambah, melainkan semakin berkurang. Jika jatah umur kita 60 tahunan dan sekarang umur kita 45 tahun, maka sisanya tinggal 15 tahun lagi. Setiap tahun berganti, maka umur kita pun terus berkurang. Dan jika saatnya jatah umur kita habis, maka azal menjemput tak bisa terelakkan, "Sein zum Tode", ada adalah menuju kematian, begitu kata Martin Heidegger. Episode baru di kehidupan abadi akan teralami dan tak bisa balik kembali ke alam nyata. Surga atau neraka kah bagian kita? Wallohu A'lam. Atau justru berada di tengah-tengah diantara keduanya "Al-manjilatu bainal manjilatain", tempat diantara 2 tempat yang diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak waras alias orgil (orang gila) seperti faham mu'tazilah kemukakan.Mari kita kontemplasi sejenak.


December 30, 2012

LSM


LSM: Anugerah atau Bencana?

Pada tahun 80-an beberapa kali penulis ikut Pengajian Padang Bulan (yasinan) di rumah Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) di bilangan Patangpuluhan yang diselingi dengan ceramah budaya oleh Cak Nun sendiri atau pakar lainnya seperti (alm) Prof. Dr. Kuntowijoyo, dll. Dalam salah satu ceramahnya yang saya ingat, Cak Nun sangat prihatin dengan segelintir budayawan/satrawan yang “melacurkan diri” karena menjual hasil karyanya yang bercerita tentang kemiskinan bangsanya sendiri untuk kepentingan pribadi kepada pihak LSM atau NGO (Non-Government Organization) luar negeri. Apalagi pada saat itu ada LSM-LSM (baca: NGO) lokal yang memotret dan melakukan penelitian tentang ketimpangan social, kaum gelandangan, masyarakat Kali Code hanya untuk memperoleh bantuan atau donasi dari luar negeri.