December 30, 2012

LSM


LSM: Anugerah atau Bencana?

Pada tahun 80-an beberapa kali penulis ikut Pengajian Padang Bulan (yasinan) di rumah Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) di bilangan Patangpuluhan yang diselingi dengan ceramah budaya oleh Cak Nun sendiri atau pakar lainnya seperti (alm) Prof. Dr. Kuntowijoyo, dll. Dalam salah satu ceramahnya yang saya ingat, Cak Nun sangat prihatin dengan segelintir budayawan/satrawan yang “melacurkan diri” karena menjual hasil karyanya yang bercerita tentang kemiskinan bangsanya sendiri untuk kepentingan pribadi kepada pihak LSM atau NGO (Non-Government Organization) luar negeri. Apalagi pada saat itu ada LSM-LSM (baca: NGO) lokal yang memotret dan melakukan penelitian tentang ketimpangan social, kaum gelandangan, masyarakat Kali Code hanya untuk memperoleh bantuan atau donasi dari luar negeri.

Meski demikian ada beberapa LSM yang boleh dikatakan memiliki nilai tambah (added-value) seperti “Kelompok Dasakung” yang dikomandani Bambang Sigap Sumantri, Djoko Krisanjoyo, Yohanes S. Widodo dan Darmaningtyas (alumni Filsafat UGM yang kini menjadi pengamat transportasi), yang melakukan survey terhadap prilaku “kumpul kebo” pelajar dan mahasiswa di Yogya yang sangat mengkhawatirkan. Hasil survey kelompok Dasakung ini membuat “kebakaran jenggot” pemerintah karena dikhawatirkan akan merubah citra Yogya sebagai “Kota Pelajar” menjadi “Kota Kumpul Kebo”.
Kehadiran LSM pada saat itu hanya menjadi polemik atau pro dan kontra di kalangan akademisi dan pemerintahan saja. LSM adalah anugerah bagi masyarakat miskin karena eksistensi masyarakat miskin lebih diperhatikan oleh pemerintah, meski pemerintah terkesan “terpaksa” karena “malu” oleh pihak LN (baca: IGGI). LSM sering dianggap "negara dalam negara".
Kini, di era millennium ke III, kehadiran LSM makin merebak bagaikan jamur di musim hujan. Visi dan misi mereka adalah sebagai social control. Ruang lingkup tugas dan kewajibannya pun makin mengerucut karena memperjuangkan hak masyarakat yang tertindas. Meski demikian, ada beberapa LSM yang kerjaannya meminta proyek atau mencari keuntungan dari ketertindasan masyarakat atas nama kedok keadilan. Padahal “vested interest” mereka adalah fulus (orang sering bilang UUD: Ujung-Ujungnya Duit). Yang sering kita lihat dan dengar adalah mereka menjadi mediator dalam konflik kepentingan antara nasabah dengan pihak perbankan/leasing. Mereka bisa berpihak kepada nasabah atau kepada pihak perbankan/leasing. Jika mereka berpihak kepada nasabah, maka mereka akan mengeluarkan jurus “back-up’, “peti es’ (cooling down), “dispensasi”, dll. Jika mereka menjadi corong pihak perbankan/leasing/lembaga keuangan, maka mereka akan berubah wujud menjadi “DC/Debt Collector”, “Pro DC”, dsb.  Kalau sudah begini, siapa yang mereka perjuangkan? Masyarakat yang tertindas atau perut mereka? Karena tidak sedikit masyarakat tertindas yang mereka perjuangkan hak-haknya harus keluar biaya yang besar sementara kasus yang mereka hadapi tetap menggantung. Apalagi jika nasabah tersebut jelas-jelas menunjukkan “wanprestasi” alias ingkar janji atau melanggar aturan yang sudah disepakati.
Jadi, menurut anda apakah LSM itu anugerah atau bencana? Apakah LSM itu momok yang sangat menakutkan atau bak dewa penolong seperti Robin Hood? Silahkan anda analisa sendiri. Ane sendiri mumet mikirinnya, mending mikirin besok mau makan apa bukan makan siapa bak politikus disana. Wis yo, yuk dengerin lagunya Sting berjudul "fragile", inspiratif dan sangat menyentuh.           

No comments:

Post a Comment